Oleh A. Sakir Jalil
MEMBANGUN Aceh hanya dengan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tidak cukup. Kita perlu menggali sumber-sumber dana pembangunan selain APBA, yaitu potensi sumber dana dari masyarakat seperti menerbitkan obligasi daerah, yang sekaligus juga merupakan wadah investasi bagi masyarakat.
Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tanggal 29 Desember 2017, daerah diberikan hak untuk menerbitkan obligasi daerah (municipal bond) sebagai sumber dana pembangunan, terutama sumber dana pembiayaan infrastruktur alternatif bagi pemerintah daerah selain melalui APBD.
Masyarakat investor di daerah yang membeli obligasi daerah ini juga akan diuntungkan, karena mereka mendapat bunga (kupon) yang lebih tinggi dari tingkat bunga perbankan setiap periode dari obligasi yang mereka beli dan nilai pokok pembeliannya akan dibayar kembali pada saat jatuh tempo.
Dasar hukum diterbitkan obligasi daerah adalah UU No.8 Tahun 1995 tetang Pasar Modal, dan tiga Peraturan OJK yang dikeluarkan tanggal 29 Desember 2017, yaitu: POJK No.61/POJK.04/2017 tentang Dokumen Penyertaan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah; POJK No.62/POJK.04/2017 tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah, dan; POJK No.63/POJK.04/2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.
Mengenal obligasi daerah
Obligasi daerah (municipal bond) sama dengan obligasi pada umumnya, yaitu surat utang yang dikeluarkan oleh suatu daerah, ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Semua risiko yang timbul dari penerbitan obligasi daerah ditanggung oleh daerah yang menerbitkannya, karena pemerintah pusat tidak menjamin penerbitan obligasi daerah tersebut. Pokok pinjaman akan dibayar kembali pada saat jatuh tempo, ditambah dengan pembayaran bunga secara berkala sesuai dengan jangka waktu dan persyaratan yang telah disepakati semula.
Menurut PP No.54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, obligasi daerah yang diterbitkan harus merupakan obligasi pendapatan (revenue bond), yaitu obligasi untuk mendanai kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat, namun tidak harus mencapai pemulihan biaya penuh (full cost recovery). Jadi, obligasi daerah bukan untuk menutupi kekurangan kas daerah, tetapi ditujukan lebih kepada sumber dana alternatif untuk percepatan pembangunan di suatu daerah. Untuk itu menerbitkan obligasi daerah perlu persetujuan DPRD.
Adapun karakteristik obligasi daerah secara umum, yaitu: Pertama, merupakan pinjaman jangka panjang yang diperoleh dari masyarakat (lebih 1 tahun, biasanya 5, 10, 20 dan bahkan 30 tahun); Kedua, diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri (Bursa Efek Indonesia – BEI); Ketiga, dikeluarkan dalam mata uang rupiah; Keempat, hasil penjualan digunakan untuk membiayai investasi aset tetap sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan manfaat bagi masyarakat, dan; Kelima, nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.
Sedangkan kegiatan pemerintah daerah yang dapat dibiayai dengan obligasi daerah di antaranya: (1) pelayanan air minum; (2) penanganan limbah dan persampahan; (3) transportasi; (4) rumah sakit; (5) pasar tradisional; (6) tempat perbelanjaan; (7) pusat hiburan; (8) wilayah wisata dan pelestarian alam; (9) terminal dan sub terminal; (10) perumahan dan rumah susun; dan (11) pelabuhan lokal dan regional.
Pemerintah Aceh akan mendapatkan banyak keuntungan dan manfaat dari penerbitan obligasi daerah dengan mekanisme penawaran umum obligasi daerah melalui pasar modal, sebab mekanisme yang berlaku di pasar modal akan memungkinkan lebih banyak lagi pihak yang terlibat untuk memberikan pinjaman dalam bentuk obligasi. Selain itu melalui obligasi daerah, Pemda akan dimungkinkan mendapatkan pinjaman dari investor asing, mengingat pinjaman secara langsung tidak diperbolehkan bagi pemerintah daerah.
Dengan penerbitan obligasi daerah melalui pasar modal akan berdampak konstruktif dalam dimensi sosial dan keuangan. Kesejahteraan masyarakat, termasuk di daerah, akan semakin terbuka luas, karena adanya akses pemeribtah daerah dan masyarakat luas pada pasar modal yang merupakan media mobilisasi dana, sarana investasi, dan alat distribusi pendapatan.
Di beberapa negara, seperti AS, Jepang, dan Malaysia, obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah telah dikenal sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan, terutama infrastruktur. Instrumen ini dianggap sebagai sekuritas yang sangat aman. Selain itu, obligasi daerah merupakan sumber dana yang murah bagi pemerintah daerah dan sangat menguntungkan, karena merupakan proses pembiayaan infrastruktur yang tidak memerlukan proses panjang layaknya pembiayaan yang menggunakan APBD. Pada zaman pemerintahan Belanda dulu (sekitar 1920-an), Pemda Jakarta, Bandung dan Surabaya pernah menerbitkan obligasi daerah dengan jangka waktu pelunasan atau jatuh tempo (maturity) 15-40 tahun dan membayar bunga kepada masyarakat yang membelinya sekitar 7% setiap tahun selama umur obligasi tersebut (Indriani, 2012).
Keuntungan langsung obligasi daerah yang didapat masyarakat Aceh, yaitu: Pertama, kupon bunga, di mana masyarakat akan mendapatkan pendapatan bunga (5-8%/tahun) sebagai hasil dari berinvestasi pada obligasi daerah yang akan diterima secara berkala sesuai dengan kesepakatan; Kedua, Capital Gain, yaitu selisih antara harga jual dengan harga beli obligasi daerah. Jadi, masyarakat sebagai investor dapat menikmati keuntungan dengan adanya selisih lebih antara harga jual dengan harga beli, walaupun mungkin saja mendapatkan kerugian kalau selisihnya adalah kurang;
Ketiga, mempunyai risiko yang sangat kecil atau bahkan tidak ada untuk gagal bayar (default) baik kupon maupun pokok obligasi daerah. Obligasi daerah merupakan sekuritas yang bebas risiko gagal bayar, karena dianggarkan dalam APBD sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004. Selain itu, obligasi daerah juga memiliki risiko yang rendah atas perubahan kurs dan perubahan kebijakan pemerintah; Keempat, obligasi daerah dapat dijadikan sebagai agunan (jaminan) dan dapat dijual setiap saat apabila pemegang obligasi membutuhkan dana, dengan menjualnya ke pasar modal, dan; Kelima, masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan dan rasa memiliki yang tinggi.
Potensi dana masyarakat
Potensi dana masyarakat Aceh untuk menggerakkan percepatan pembangunan sangat besar. Dilihat dari sejarah Aceh pun tidak ada masalah, karena untuk membangun memang diperlukan partisipasi masyarakat. Jadi, kalau obligasi daerah ini diterbitkan, maka masyarakat Aceh akan ikut membeli obligasi tersebut (sebagai investor). Kita tidak ragu hal ini, karena jangankan obligasi, pesawat terbang pun mampu dibeli untuk mendukung perjuangan kemerdekaan.
Potensi uang yang bisa dikumpulkan di tengah masyarakat cukup besar, cuma cara pengumpulannya yang perlu pendekatan yang cocok, sebab bagi orang Aceh kalau hati sudah senang maka mudah untuk diminta partsipasinya, apalagi partisipasi investasi obligasi untuk mendukung infrastuktur pembagunan yang mereka sendiri ikut menikmatinya. Oleh karena itu, peluang penerbitan obligasi daerah ini perlu disikapi Pemerintah Aceh dengan mengkaji apa syarat, prosedur dan pertanggungjawabannya.
Obligasi Aceh ini memiliki tiga nilai strategis: Pertama, sumber dana alternatif untuk mempercepat laju pembangunan. Kedua, melibatkan partisipasi masyarakat sebagai investor dalam pembangunan. Dan, ketiga, meningkatkan sinergi antara pemerintah daerah dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, DPRD dan OJK. Artinya, aspek tata kelola APBA oleh pemerintah daerah perlu menjadi perhatian, karena kepercayaan investor sangat tergantung pada bagaimana pemerintah daerah mengelola APBA dan memanfaatkan dana hasil penerbitan obligasi daerah.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah pusat ini merupakan sebuah peluang dan sekaligus tantangan bagi Pemerintah Aceh. Jika andalannya hanya APBA yang rutin saja dan memperolehnya pun Pemda Aceh harus “mengemis” ke pusat tiap tahun dengan berbagai macam loby, maka pembangunannya hanya berjalan biasa-biasa saja, yaitu mengikuti fungsi linier. Artinya, meningkatkanya sedikit saja atau pelan-pelan, tidak spektakuler. Padahal, Aceh sebagai daerah yang pernah mengalami konflik sekitar 30 tahun harus dibangun mengikuti fungsi kuadrat, meningkatnya harus lebih cepat melebihi kecepatan pembangunan daerah lain. Nah!
* A. Sakir Jalil, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Obligasi Aceh Mengapa tidak?, https://aceh.tribunnews.com/2018/01/25/obligasi-aceh-mengapa-tidak?page=2.